♥ Salam Ukhuwah Islamiyah ♥

♥ Salam Ukhuwah Islamiyah ♥♥ Salam Ukhuwah Islamiyah ♥♥ Salam Ukhuwah Islamiyah ♥♥ Salam Ukhuwah Islamiyah ♥

Kamis, 07 Maret 2013

KISAH RAJA JA'LUT dan RAJA THALUT


Problema keimanan sering dikaitkan dengan pemikiran dari individu tersebut, dimana apabila pemikiran individu itu cenderung untuk melanggar maka keimanan pun akan menurun sedangkan apabila pemikiran individu tersebut cenderung kepada ketaatan maka keimanan pun akan bertambah. Seperti kisah yang terjadi pada Bani Israil, kecenderungan kepada pelanggaran membuat mereka terlempar jauh dari kebenaran dan ajaran agama yang haq. Peristiwa yang di simpan di dalam Al-Quran mengenai kisah Raja Thalut melawan Raja Ja’lut merupakan bukti akan kebenaran isi Al-Quran yang terjadi kepada Bani Israil sebagai bentuk teguran bagi umat Islam agar senantiasa taat kepada Allah SWT. Selain itu, kisah tersebut memotivasi para pejuang Islam agar tidak ragu dalam melawan kafir yang zalim dimana Allah SWT akan selalu bersama mukmin dan menolong mereka ketika berperang sampai mendapatkan kemenganan meskipun Allah SWT mencoba keimanan mereka sehingga nyatalah mereka sebagai mukmin sejati. Itulah salah satu bukti yang Allah berikan melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah SAW, dimana sejarah membuktikan ketika perang badar pun dapat dimenangkan mukmin meskipun mereka berjumlah sedikit tetapi dengan keteguhan iman yang kuat mukmin mendapatkan kemenangan dan Islam berjaya serta di segani olem kaum kafir. Kemenangan Mukmin tidak terlepas dari perjuangan para Nabi dalam menegakkan agama dan tauhid. Mereka berjuang sehingga Allah memuliakan mereka sebagai salah satu utusanNya. Kezaliman Bani Israil akan terlihat dari kisah Raja Thalut, bagaimana mereka terus menantang Allah swt padahal sudah datang bukti yang jelas kepada mereka seperti kembali nya Tabut kepada mereka sendiri.
  
Wahb bin Munabbih berkata : “Dahulu Bani Israil ketika ditinggal oleh Nabi Musa as, masih mengikuti ajaran beliau. Akan tetapi beberapa masa kemudian mereka berubah sehingga ada yang kembali menyembah berhala, Allah swt mengutus beberapa Nabi untuk mengajak mereka kembali kepada tauhid dan ajaran agama namun mereka saat itu malah semakin menyeleweng terhadap ajaran agama. Sehingga Allah swt memberi mereka teguran yaitu di kuasakannya seorang Raja zalim yang bernama Ja’lut atas mereka. Tiada seorang pun yang mampu melawan kekejian yang dilakukan Raja Ja’lut.
            Dahulu mereka mempunyai Kitab Taurat dan Tabut tetapi karena mereka mengabaikan ajaran kitab tersebut makan Raja Ja’lut merampas dari tangan mereka. Sedangkan hanya sedikit diantara mereka yang menghafal isi dari kitab tersebut dan turunan Nabi dari Laawie pun telah habis kecuali seorang wanita yang hamil yang dibiarkan hidup. Wanita tersebut melahirkan keturunan laki-laki dan menjadi utusan Allah selanjutnya untuk berdakwah kepada manusia agar kembali pada Tauhid.
            Maka diangkatlah Thalut sebagai Raja untuk melawan Raja Ja’lut tetapi problematika keimanan pun terjadi yaitu beberapa tantangan Bani israil kepada Allah dan utusanNya sehingga sebagian diantara mereka merupakan orang yang merugi karena tidak taat pada perintah Allah. Hingga bukti kemenangan Thalut pada saat itu tidak mampu memberi mereka pemahaman akan kebenaran ajaran agama Allah sampai sekarang, semua bukti yang telah Allah swt berikan didustakan dan diingkari.
Dahulu Bani Israil ketika ditinggal oleh Nabi Musa a.s. masih masih mengikuti jejak ajaran Nabi Musa a.s. beberapa masa kemudian mereka berubah sehingga ada yang menyembah berhala dan selalu timbul (bangkit) seorang Nabi di tengah-tengah mereka yang tetap menganjurkan makruf dan mencegah dari mungkar, serta mengembalikan mereka ke tuntunan Taurat, sampai mereka memuncak penyelewengan mereka terhadap ajaran agama, sehingga Allah menguasakan di atas mereka musuh Islam yang telah membunuh dan menawan sebagian besar dari mereka anak serta menjajah negeri mereka, dan tiada seorang yang berusaha memberontak melawan kekuasaan-kekuasaan raja yang zalim itu melainkan segera ditumpas habis.
Dahulunya mereka memiliki kitab Taurat dan Tabut, tetapi karena mereka mengabaikan ajaran Taurat itu akhirnya Taurat dan Tabut itu dirampas oleh raja yang kafir, turunan Nabi telah habis dari turunan Laawie , kecuali seorang wanita yang sedang hamil , wanita itu sambil berdo’a semoga Allah memberinya putra yang akan menjadi seorang Nabi, maka Allah menerima do’anya dan wanita itu beranak lelaki yang diberi nama Samu’il atau Syam’un. Ketika telah mencapai usianya diturunkan wahyu kepadanya supaya berdakwah mengajak manusia kembali kepada Tauhid. Mereka kepadanya supaya diangkat seorang raja yang dapat meminpin untuk perang melawan raja yang zalim itu.
Dan berkatalah Nabi, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat untuk kalian Thalut sebagai raja “. Mereka berkata,”Bagaimana ia menjadi raja diatas kami, padahal kami lebih berhak daripadanya, dan ia tidak kaya”.


4
 Jawab Nabi,”Sesungguhnya Allah telah memilihnya diatas kalian , dan Allah telah memberinya kelebihan dari kalian dalam ilmu dan ketangkasan badan. Dan Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya , Dan Allah luas pemberiannya lagi mengetahui”.
Demikianlah contoh tantangan Bani Israil terhadap nabinya, kemudian Allah berfirman bahwa dia akan memberikan kekuasaan kerajaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan berkatalah Nabi ,” Sesungguhnya tanda bukti kerajaan Thalut itu akan kembalinya Tabut yang mengandung sakinah ketentraman dari Tuhan dan berisi sisa-sisa peninggalan keluaraga Musa dan Harun, ia ia dibawa oleh malaikat. Sungguh yang demikian itu sebagai bukti bagi kalian , jika kamu beriman”.
Sesungguhnya kejadian itu sebagai bukti kebenaran kenabian dalam apa yang aku jelaskan kepadamu mengenai kerajaan Thalut . Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat ini memberitakan ketika raja Thalut keluar membawa tentaranya sebanyak delapan puluh ribu. Dan memberitakan bahwa Allah akan menguji dengan sungai diantara Ardun dan Palestina,
“Maka ketika Thalut telah membawa tentaranya keluar ,ia  berkata,”Sungguh Allah akan mengujimu dengan sebuah sungai, maka siapa yang minum dari sungai itu bukan golonganku , dan siapa yang tidak merasakan air itu dari golonganku, kecuali yang hanya menciduk dengan tangannya satu kali “. Maka minumlah dari singai kecuali sedikit yang tidak minum dari mereka. Dan ketika melewati tempat itu bersama orang-orang beriman kepadanya , mereka berkata ,”Kami tidak bertenaga untuk melawan jalut (Guliat) dan tentaranya sekarang ini “. Maka berkatalah orang yang yakin berhadapan dengan Allah : Berapa banyak rombongan yg kecil(sedikit) dapat mengalahkan yg banyak dengan izin Allah. Dan Allah tetap membantu orang yg sabar tabah hati”.

5
Al-bara’ bin Aazib r.a. berkata,” Kami biasa membicarakan bahwa sahabat Nabi saw. Ketika perang badar tiga ratus tiga belas sebanyak sahabat yg ikut menyebrangi sungai, dan tiada menyebran bersamanya kecuali orang mukmin .  ( R. Bukhari ). Keadaan kaum yg beriman menghadapi musuh dari orang kafir tentara jalut yang merupakan bilangan yg jauh lebih banyak, maka pertama yg harus di ingat oleh orang mukmin ialah : “Rabbana afrigh alaina shabra, wa tsabbit aqdaa mana wanshurna alal kaumil kaafirin; “Ya tuhan kami berilah kesabaran dan ketabahan kepada kami , dan tetapkan tepak kaki kami dalam menghadapi musuh, yakni jangan sampai kami lari ketakutan dan tolonglah kami , menangkan kami terhadap kaum yg kafir ”. Doa ini harus selalu menjadi senjata yang ampuh bagi tiap mukmin dalam perjuangan nyam, hanya dengan ingat kepada Allah itu lah yang dapat mencapai kemenangan dalam perjuangan.
           Dalam riwayat I srailiyat : bahwa Nabi Daud telah membunuh jalut dengan ketefil, yg di lemparkan kepada jalut sehingga terbunuh, dan Raja Thalut telah berjanji siapa yang dapat membunuh Raja Jalut akan dinikahkan dengan putrinya dan diberi setengah dari kerajaannya, kemudian setelah Nabi Daud menduduki kerajaan, Allah swt menambah dengan kenabian. Inilah ayat-ayat (Allah) kami ceritakan kepadamu sebenarnya, dan engkau termasuk Nabi Utusan Allah.
            “Rasul-Rasul itu telah kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain, diantara mereka ada yang langsung berkata-kata dengan Allah, dan mengangkat sebagian mereka beberapa derajat, dan kami telah memberi kepada isa putra Maryam bukti-bukti (Mukzijat) dan kami kuatkan ia dengan ruh suci. Dan andaikan Allah berkehendak niscaya tidak akan berperang orang-orang yang sesudah para Rasul itu setelah mereka menerima keterangan dan bukti-bukti, tetapi mereka lalu berselisih, maka diantara mereka ada yang beriman (percaya) dan ada juga yang kafir (ingkar), dan andaikan Allah berkehendak pasti mereka takkan berperang tetapi Allah berbuat sekehendakNya.”

Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari


Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Kejeniusan Imam Bukhari
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.
Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama”.
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Terjadinya Fitnah
Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”
Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.

Mengenal Ayat Makiyah dan Madaniyah dalam Al-Qur’an



Mengenal Ayat Makiyah dan Madaniyah dalam Al-Qur’an

Ditulis oleh Pengelola di/pada 27 Juni, 2008

Oleh : Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Al-Qur’an turun kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam secara berangsur-angsur dalam jangka waktu 23 tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam di Mekkah. ALLAH Ta’ala berfirman :

“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Al-Qur’an surat Al-Israa’:106)

Oleh karena itu para ‘ulama rahimahullah membagi Al-Qur’an menjadi dua , yaitu :

- Al-Makiyah, yaitu ayat yang diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam sebelum hijrah ke Madinah.

- Al-Madaniyah, yaitu ayat yang diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam setelah hijrah ke Madinah.

Berdasarkan hal tersebut maka firman ALLAH Ta’ala :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. “ (Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat : 3), termasuk ayat Madaniyah walaupun turun kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam pada haji wada’ di Arafah.

Disebutkan dalam shahih Al-Bukhari dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ta’ala ‘anhu bahwa dia berkata : Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam, yaitu saat Beliau Shallallahu ‘alayhi wasallam berada di Arafah pada hari Jum’at.

:: Perbedaan Surat Makiyah dan Madaniyah dari Sisi Konteks Kalimat dan Tema ::

- Perbedaan dari segi konteks kalimat :

1. Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah surat Al- Mudatsir dan Al-Qamar. Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah mempunyai cara penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Maidah !.

2. Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat At-Thur !, adapun surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan karena keadaan mereka yang menerima dakwah. Baca ayat dain (ayat tentang hutang) pada surat Al-Baqarah ayat 282.

- Perbedaan dari segi tema :

Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan akidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu. Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’ammalah karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan akidah yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’ammalah.

Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan orang munafik karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafik, berbeda dengan isi surat Makiyah.

:: Beberapa Faedah Mengetahui Surat Madaniyah dan Makiyah ::

Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat, diantaranya :

- Bukti ketinggian bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an ALLAH Ta’ala mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.

- Tampaknya hikmah pembuatan syariat ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.

- Pendidikan terhadap para da’i di jalan ALLAH azza wa jalla dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Quran dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.

- Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi syarat-syarat nasikh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadi nasikh (hukum yang menghapus) bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.

=====================

Dinukil dari buku Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an, Karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin & Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu. Penerjemah : Muhammad Qawwam, LC, Abu Luqman. Penerbit Cahaya Tauhid Press, Malang. Cet. Ke-1, Februari 2006. Hal. 33-36. untuk blog http://najiyah1400h.co.nr