Aku teringat dengan
sebuah buku kecil pemberian Ibu sepulang beliau mengajar. Sebuah judul buku
yang selalu terkenang “Si Burung Kutilang” mungkin saat
itu Aku masih duduk di kelas 3 atau 2 Sekola Dasar. Aku tidak suka membaca, Aku
lebih suka melihat gambar di setiap halaman buku itu. Aku melihat seekor burung
kutilang yang tengah menunggu sang induk pulang dari berburu untuk adik-adiknya
makan. Tetapi hutan tiba-tiba mengepulkan asap yang tebal, si burung kutilang
bingung harus berbuat apa untuk menyelamatkan adik-adiknya. Sang ibu yang
tengah kembali menyuruh Kutilang pergi untuk hidup, tidak ada waktu untuk
ibunya menyelamatkan diri beserta adik-adiknya. Itu sebagian cerita Burung
Kutilang yang selalu tidak lepas dalam memori hidupku. Sedih dan menangis membaca
buku itu, dari sana aku lebih tertarik dengan buku-buku cerita atau dongeng
semacamnya.
Aku tidak mengenal
siapa penulis buku “Si Burung Kutilang” tetapi aku mengingat cerita yang beliau
buat. Terima kasih mewarnai masa kecil yang jauh dari hingar bingar perkotaan.
Aku belajar menulis cerita, cerita yang sesuai imajinasi saat kecil. Aku menghabiskan
buku bekas yang tidak terpakai untuk dibuat semacam cerita. Mungkin sahabat
akan tahu jika masih banyak ibu-ibu di Indonesia yang apabila melihat buku
menumpuk kemudian menjualnya alias dikilo. Tetapi tidak apalah, aku masih bisa
mencoret-coret bekas buku milik ibu yang tidak terpakai. Hehehe...
Aku termasuk anak yang
tidak mempunyai mimpi, keluarga bukan dari kalangan orang berada. Ayah seorang
wiraswasta dan Ibu seorang guru dengan gaji minim. Aku mempunyai keluarga yang
menyedihkan, karena Ibu berusaha untuk menafkahi aku dan ketiga adik yang masih
kecil. Jangan bertanya dimana Ayah berada? Itu semua sebagian rahasia hidup
yang aku siapkan untuk menjadikannya sebuah cerita. Karena jika aku menuliskan
kisah hidup mengenai kedua orangtua di dalam artikel ini, aku merasa kehilangan
sebuah ide dalam buku yang kedua yang Insya Allah ingin diterbitkan. Ini hanya
gambaran siapa yang pertama-tama membuat aku termotivasi untuk menjadi penulia,
tidak lain adalah kehebatan dari seorang Ibu.
Kemudian dalam masa
pencarian jati diri, aku mendapatkan sebuah buku kecil yang bibi dapatkan
ketika dia berkunjung ke Perpustakaan Negara di Jakarta, mungkin semacam Festival
Book Fair. Buku kecil berukuran setengah dari buku komik yang berjudul “Buku
Kecil Inthisari Sufi”. Maaf, jika aku belum bisa membandingkan setiap
buku dengan Al-Qur’an (Buku terbaik sepanjang masa) karena itulah kebodohanku
selama hidup. Aku buta agama, aku bukan anak yang terdidik dari lingkungan
agama. Tetapi aku tahu apa itu dosa dari pengajian-pengajian kecil sebelum aku
mendalami ilmu agama. Disanalah aku mulai menitikkan air mata dan aku tahu
betapa fakir ilmu ini dalam agama. Isi buku tersebut adalah mengenai cerita dan
juga kata-kata para Ulama seperti Syeikh Abdul Qadir, Hasan Al bashri,
Jalaludin Rumi, Bayazid Bustami dan masih banyak yang lainnya. Aku semakin
terpesona dengan kata cinta, tetapi disini bukan cinta ala remaja atau Film Ada
Apa Dengan Cinta yang sedang booming. Disini mereka tuangkan kalimat
Rabb (Tuhan), disini tempat para pemuja Allah swt. Kemudian aku melihat sebuah
puisi indah milik Rabiah Al Aadawiyah. Aku menemukan kedamaian dalam kehidupan
yang penuh dengan buliran air mata. Aku menanti bacaaan yang dapat memberikan
aku ketenangan jiwa. Jika teringat semua itu pasti aku akan menangis, karena
disanalah pertama kali aku mulai mencari ilmu agama meskipun banyak orang yang
menentang dan mencemoohkan. Aku bersabar, karena aku yakin mereka tidak
mengerti apa yang sedang aku alami.
Rabiah Al Adawiyah
merupakan sosok yang membuat aku heran, kata-kata yang tertulis miliknya ini
mengapa mampu menggetarkan jiwa? Mengapa mampu membuat mata ini menangis? Ini
hanya sebuah kalimat yang simple, sederhana tetapi maknanya begitu hebat tiada
terkira. Disanalah aku mulai belajar menulis dalam jiwa. Biarkan hati
memancarkan ketulusan dalam setiap tulisan. Tulisan yang mampu membuat hidup
seseorang merubah pola pikir dan pola hidup ke arah yang baik sungguh merupakan
tulisan yang ajaib. Mengapa aku katakan ajaib karena hitam diatas putih membuat
sebuah jalan hidup bagi pembacanya, membuat sejarah hidup berubah dan semua itu
aku syukuri karena itu merupakan anugerah yang Allah berikan untuk merubah
hidup ini. Tulisan akan dikenang di setiap orang yang membacanya jika itu
benar-benar terlahir dari jiwa yang bersih dan berharap akan kasih sayang-Nya.
Memasuki perkuliahan,
aku semakin sibuk dengan membaca buku-buku novel maupun karangan orang lain.
Ada beberapa penulis yang membuat diri ini semakin semangat untuk belajar,
yaitu Habiburahman El Shirazy yang terkenal lewat Novel dan Film Ayat-Ayat
Cinta. Saat itu Film bernuansa religius sedang begitu membludak,
kehausan masyarakat akan film yang inspriratip dan juga mendidik terjawab oleh
film tersebut. Tetapi aku tidak melihat siapa aktor atau aktris dibalik itu,
aku melihat siapa penulis yang berada di belakang itu. Ya, aku kembali berdecak
kagum, itu semua karena sebuah tulisan mampu membuat masyarakat Indonesia tahu
apa itu ta’aruf bahkan ada juga yang benci karena film itu mengangkat poligami
yang sangat kontroversial di kalangan masyarakat atau sedang beken dijadikan
topik pembahasan. Itu kehebatan dari sebuah tulisan, membuat aku semakin
percaya jika tulisan mampu membuat dunia berubah.
Tetapi sungguh sayang
sekitar tahun 2011/2012 Aku mulai ingin membuat sebuah novel mengangkat kisah
hidup yang dikatakan pahit dan mengenai sosok Rabiah Al Adawiyah. Disana aku di
semangati oleh teman-teman tetapi akhir tahun 2012 adalah kisah yang paling
kelam dalam hidup. Aku terpaksa berhenti untuk mengejar cita-cita karena Aku
harus menikah sesuai dengan tuntutan keluarga besar. Aku dalam kebimbangan dan
sangat depresi, mimpi untuk menjadi penulis harus terhenti. Aku mengabdikan
diri untuk mengurus suami, aku fokuskan diri hanya untuk berumah tangga saja.
Aku hentikan mimpi dan itu sangat menyedihkan. Aku berfikir jika saat itu aku
tidak dapat mengekplor kemampuanku lagi karena banyak sekali yang harus aku
atur dalam kehidupan sehari-hari. Di tambah masa kehamilan dan melahirkan
membuat aku off dalam dunia tulis menulis. Sakit hati yang aku rasakan, sungguh
tiada berguna hidup ini, tetapi semua itu aku lakukan untuk menjadi istri yang
baik bagi suami dan Allah sangat meridhoi jikalau aku mengabdikan diri untuk
suami dan anak. Aku takut suami tidak mendukung mimpi menjadi penulis dan itu
membuat hati semakin kecewa. Aku tidak mau kehidupan rumah tangga terbengkalai
jika aku menjadi penulis. Aku berusaha menutupi semua itu, dan suami tidak
pernah tahu jika aku telah menulis beberapa bab dalam laptopnya. Bukan waktu
yang singkat memendam rasa ini, 3 tahun merupakan waktu yang sangat panjang
untuk aku kembali mendapatkan panggilan jiwa ini. Cerita yang aku tuliskan
seakan menjerit dan memohon untuk aku kembali dalam kehidupannya. Sebenarnya
aku masih aktif dalam sebuah halaman di facebook, tetapi semua itu tidak dapat
menjadikan aku apa-apa. Aku ingin sesuatu yang lebih seperti para ulama
lakukan, setidaknya dalam hidup mampu membuat satu buku untuk orang kenang. Aku
termotivasi kembali setelah ikut dalam grup kepenulisan di facebook “Komunitas
Bisa Menulis”. Disana aku mengenal para penulis hebat, dan aku sangat kagum
dengan Bunda Asma Nadia yang menjadikan rumah tangga bukan sebuah halangan
untuk terus menulis. Aku mulai memberanikan diri untuk berbicara pada suami,
dan sungguh diluar dugaan suami mendukung untuk menjadi penulis. Mengapa baru
kali ini aku menanyakan hal ini? Suamiku bukanlah tipe laki-laki yang possesiv
dan overprotect terhadap pasangan. Dia akan selalu mengijikan aku terhadap kegiatan
yang menurutnya positif. Mungkin inilah jalan Allah untuk aku kembali melukis
mimpi yang warnanya telah luntur karena rasa bimbang dan ketidakpercayaan diri.
Aku memberikan alasan
kepada suami, aku ingin dikenang oleh anak-anakku kelak. Dalam hati aku
mengucapkan “Aku ingin dikenang oleh suamiku dan anak-anak jika diri ini tiada”.
Aku ingin menjadi bagian dalam sejarah. Bagaikan bintang yang bertaburan, aku
adalah salah satu dari jutaan bintang yang menghiasi indahnya malam. Aku ingin
putraku tahu jika ibunya memiliki semangat ini, aku ingin dia terus melanjutkan
cita-cita ini menjadi penulis. Aku ingin dia mengikuti jejak hidup ini, aku
telah gambarkan semua itu dalam buku pertama “Di Atas Langit Cinta”.
Anakku akan menjadi pengabdi Tuhan, dia akan menjadi nyawa di buku tersebut
karena menjadikan Allah sebagai satu-satunya jalan untuk ia kembali. Jika Ulama
memilik satu kitab yang sangat bermanfaat bagi umat islam, maka aku mempunyai
cerita yang harus bermanfaat untuk umat. Aku tidak dapat mengarang sebuah buku
yang bertujuan untuk pendidikan seperti ulama lakukan, karena ilmu yang mereka
miliki jauh lebih unggul dan kita tidak bisa memberikan ilmu yang salah tafsir.
Semua itu membahayakan bagi orang-orang yang awam, sehingga aku putuskan untuk
berfikir bagaimana aku membuat sebuah tulisan mendidik tetapi tidak terlepas
dari kehidupan sebagai muslim yang baik. Aku bukan Profesor atau dosen yang bisa
membuat sebuah buku panduan untuk murid-muridnya, aku hanyalah diri yang ingin
berbagi ilmu lewat tulisan agar mereka memetik hikmah dan dapat mengamalkannya
dikehidupan sehari-hari. Insya Allah.... terima kasih Allah Tuhanku....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar